Masjid Agung Tanara adalah sebuah masjid
yang terletak di Kampung Tanara, kecamatan Tanara, kabupaten Serang, Banten.
Masjid ini merupakan peninggalan Raja Banten Pertama, yaitu Sultan Maulana
Hasanuddin, yang memerintah kesultanan Banten tahun 1552
hingga 1570.
Umumnya, orang hanya menganggap bahwa masjid tersebut
adalah peninggalan Syekh Nawawi, karena lokasina bersampingan dengan rumah
kelahirannya. Tokoh sufi itu hidup di Tanara saat wilayah Banten dijajah kolonial Belanda, yaitu antara tahun 1813
hingga 1897. Padahal, masjid tersebut merupakan peninggalan Raja
Banten pertama, taitu Sultan Maulana Hasanuddin, yang memerintah Kesultanan
Banten tahun 1552 hingga 1570. Masjid ini seakan luput dari perhatian
ahli sejarah. Begitu pun dengan publik. Banyak media hanya mengupas sisi
peninggalan Syekh Nawawi, namun luput mengupas sejarah masjid ini sebagai jejak
dakwah Islam di tanah Banten.
Memang, tak ada prasasti yang menyebutkan
bahwa masjid ini didirikan Sultan Maulana Hasanuddin.
Bahkan, masyarakat sekitar Tanara sendiri
mengait-kaitkan bangunan ibahdah ini dengan dunia spiritual. Di sana berkembang
asumsi bahwa masjid ini dibangun oleh jin.
Tanpa arsitek, perencanaan dan bahan bangunan. Asumsi
ini kemudian terbantahkan ketika seorang wakil ketua Masjid Agung Tanara
bernama Syibromalisi, menyebutkan bahwa masjid ini didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin
dan bukan oleh jin seperti asumsi yang selama ini berkembang. Ia juga bisa
membuktikan bahwa masjid ini termasuk tua dan bersejarah.
Pertama, arsitektur dan aksesoris yang
terdapat di masjid ini mirip dengan Masjid Agung Banten.
Kemungkinan, sang raja memerintahkan seorang arsitek dari China
untuk membangun masjid ini. Bahkan, masjid ini tergolong lebih dulu dibangun
daripada Masjid Agung Banten yang
terletak di Banten Lama. Sebab, Masjid Banten didirikan pada masa pemerintahan
Sultan Maulana Yusuf, putra Sultan Maulana Hasanuddin dari pernikahannya dengan
Nyi Ayu Kirana. Dia memipin kerajaan Banten usai sepeninggal ayahnya. Namun
begitu, tak ada yang bisa memastikan tahun berapa tepatnya masjid ini dibangun.
Tidak ada petunjuk sejarah yang menyebutkan. Yang pasti, masjid ini didirikan
semasa Sultan Maulana Hasanuddin memeimpin pemerintahan di Banten.
Kalau ditilik dari data sejarah, Hasanuddin menjadi Sultan Banten tahun 1552
hingga 1570. Mungkin, antara jeda waktu itulah masjid ini dibangun. Kedua,
di dekat masjid terdapat makam putra Hasanuddin, yaitu Pangeran
Sunyararas, hasil pernikahan dengan putri dari Demak. Selain, Pangeran
Sunyararas, dari pernikahan ini pula Hasanuddin dikaruniai beberapa anak, yaitu
Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, dan Ratu Kamudarage. Jadi, adalah
logis jika masjid ini didirikan Sultan Maulana Hasanuddin,
karena letak makam Pangeran Sunyararas tak jauh dari masjid,
yaitu hanya sekitar 300 meter. Ketiga, di bagian atas dinding pintu
masuk serambi bagian dalam masjid terdapat itga ukiran batu bergambar lambang
kerajaan, yaitu ukiran mirip ujung tombak, ukiran mirip burung garuda, dan
ukiran mirip pisau. Semuanya simbol kerajaan Banten yang bisa kita temui di
komplek makam Sultan Maulana Hasanuddin di Banten Lama. Disamping itu, secara
umum, arsitektur dan aksesoris masjid juga tak jauh beda dengan Masjid Agung Banten. Keempat,
masjid ini dikelola dengan menggunakan hasil tanah sawah yang berasal dari
wakaf raja pertama Banten. Hingga kini, tanah wakaf tersebut dikelola pengurus
masjid dan hasilnya untuk biaya operasional masjid.
Dulu, menurut cerita, pemerintah Banten mewakafkan tanah sawah lebih dari satu
hektare untuk keperluan masjid. Kini, luas tanahnya bertambah mencapai 12
hektare, setelah mendapatkan wakaf dari warga. Setiap tahunnya, hasil sawah
mencapai sekitar Rp50 juta-an.
Syibromalisi
memaklumi bila masjid tua ini luput dari perhatian publik. Sebab, masjid ini
tidak dijadikan objek penelitian para ahli sejarah. Bahkan, di beberapa buku
sejarah di Banten tidak mencantumkan masjid
ini sebagai objek peninggalan kerajaan Islam. Kendati begitu, ia berharap bahwa
keberadaan masjid ini dapat menambah khazanah Islam
di bidang ilmu sejarah.
Masjid
Agung Tanara berdenah segi empat dengan tempat imam yang menonjol sedikit ke
depan. Masjid ini terbagi atas lima bagian, yaitu bagian dalam masjid, serambi
dalam, serambi kanan, serambi kiri, dan kolam wudhu. Luas bangunan utama, yaitu
bangunan aslinya sekitar 15x15 meter. Bagian ini menghubungkan pintu masuk
bagian dalam dengan pintu masuk bagian luar. Dulu, bagian ini merupakan halaman
masjid.
Di
bagian utama masjid terdapat mihrab khutbah yang terbuat dari kayu. Benda
tersebut masih asli. Tingginya mencapai 4 meter. Mimbar ini memiliki kuncup
yang mirip dengan kuncup bangunan Masjid Agung Banten. Bahkan, bentuknya hampir
sama dengan mimbar khutbah di Masjid Agung Banten. Hal
istimewa lainnya adalah mihrab imam (pengimaman). Bagian ini termasuk
peninggalan Sultan Maulana Hasanuddun, karena dia sendiri yang mendirikan.
Tingginya hanya 165 cm. Pendek sekali. Namun begitu, meski terlihatp pendek,
setiap jamaah yang menjadi imam salat pasti bisa masuk ke dalam. Pasalnya,
setinggi apapun seseorang, bila menjadi imam salat, ia bisa masuk ke ruang
pengimaman. Dari sini mungkin ada makna filosofis. Yang pasti, posisi kepala
dan mata dianjurkan mengarah ke bawah tempat sujud. Kita diajarkan untuk tidak
mengarahkan pandangan ke depan saat salat.
Masjid
ini telah mengalami pemugaran sekitar dua kali, yaitu sekitar tahun 1990
dan 2001. Ada beberapa bagian yang direnovasi dan ditambah. Salah
satu bagian yang direnovasi adalah bagian kondtruksi atau atau kuncup massjid.
Semula, kuncup masjid anya satu seperti Masjid Agung Banten.
Masyarakat kemudian merubahnya menjadi tiga kuncup yang lebih kecil. Meski
kuncup tersebut diubah, tiang penyangga masjid tidak diganti. Pemugaran tidak
menghilangkan unsur-unsur historis dari masjid ini. Ada banyak bagian yang
masih utuh. Salah satunya adalah bagian pintu masjid. Ada lima pintu di bagian
depan dan dsua bagian di samping. Bentuknya pendek dan rendah. TIngginya kurang
dari dua meter. Untuk melewati pintu, seseorang harus sedikit membungkukkan
badan. Pendeknya pintu ini sama dengan pintu di Masjid Agung Banten. Hal ini
sarat dengan makna pesan filosofis. Orang yang masuk masjid diharuskan sedikit
membungkukkan badan sebagai bentuk rasa rendah diri bila akan menghadap Allah.
Di masjid ini juga tak luput dari penambahan luas bangunan. Di
antaranya di bagian pendopo samping kiri maupun kanan. Penambahan ini
dimaksudkan untuk menampung jamaah yang kian banyak, terutama bila perayaan Haul
(peringatan tahunan wafat) Syekh Nawawi tiba. Jamaah yang datang dipastikan
membludak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar